-->

Parau Generasi muda dan Paras kecantikan pertanian Indonesia


Oleh: Siddiqurrohman Abad Arz*

Produktifitas pertanian semakin abu-abu. Tak seterang bidang lainnya, tak seviral tik tok tataw, tak seheboh obrolan kampanye bidang lainnya. Mungkin karena informasi dan pemberitaan tak banyak tersambung ketelinga masyarakat luas tentang kabar sektor pertanian ini. Padahal, bicara teknologi hari ini sudah pada batas kecanggihan luar biasa, media sosial internet mampu diakses banyak orang, si google siap setiap saat menerima pertanyaan dan jawaban siapa saja. 

Mungkin karena memang kehilangan minat dan daya terik? Oh, bisa jadi. Meski tak ada tim survei yang tertarik menyurvei hal ini, dari sepengamatan saya di generasi ini yang menggemari instagram, jarangan banget upload konten pertanian. 

Cerita sebentar. Saya terlahir dilingkungan petani tulen, ibu, bapak,  kakek, nenek beserta hubungan darah keatas sama, bercocok tanam disawah sebagai petani. Dan beberapa jam sebelum saya menulis ini, ada obrolan singkat via telpon antara saya dengan orang tua saya ditanah kelahiran, kebetulan membahas tentang pertanian. Kurang lebihnya ibuk saya bilang begini ke saya dipenggalan percakapan tertentu:

"....Bapaknya sudah tidur nak" Saut ibuk. 

"Kok sudah tidur jam segini buk" sambil kulihat jam dipojokan kanan hp bagian atas, Tepat jam 21.00.

"iya sudah 3 hari ini bapakmu nanem tembakau di tokuluk"

"Kok sampek 3 hari buk. Nanem banyak kayak tahun kemaren ya buk".

"Gak nak. Malah hanya sepetak sawah yang ditanami. Bapaknya bilang tidak kuat untuk menyiram dan merawat setiap hari dengan 3 petak sawah. Kakeknya sudah tidak diperbolehkan ikutan bertani tembakau sama bapakmu nak, kasian katanya terlalu berat. 2 petak sawah itu disuruh tanami singkong dan telo ke kakek dan nenekmu biar ringan merawatnya". Tutur ibu dengan nada sedih terpaut ketegasan suaranya.

Ohya musim tembakau. Daun emas sebagian orang sumenep menyebutnya. Meskipun 3-4 musim akhir akhir ini masyarakat tidak mendapati hujan emas itu pada daun tembakau, menjadi daun kepiluan, kebingungan bagi petaninya. Harga anjlok, musim tak tentu membuat rasa dan bentuk daun tak mendapatkan perhatian para tengkulak untuk membelinya dengan sepadan dan berhasil meraup keuntungan, nyatatanya banyak yang dijual dibawah modal awalnya, bahkan punyak bapak tahun lalu tidak dijual karena tak sanggup menjualnya dengan harga mencekek tenggorokannya, bapak bilang akan membiarkannya saja sampai kering dan menjualnya kepada tengkulak berhati malaikat, petani kami memberi nama Gerusuk.

Satu  petak sawah biasanya dapat ditanami 1000 sampai 1500 benih tembakau dan kalau tiga petak berkisaran 5000 sampai 5500 biasanya. Cukup berat memang bertani tembakau, selain butuh waktu cukup lama kisaran 3 sampai 4 bulan, pemeliharaannya cukup butuh tenaga ekstra untuk menyiramnya dua kali sehari, membersihkan rumput sewaktu-waktu, mengusir ulat, belalang,  dan bermacam jenis hewan pelubang daun dan pemotong tubuh tembakau. Dan entah, tembakau sangat takut air hujan, daunnya rusak tipis tak memiliki harga tinggi dan bahaya yang manakutkan bisa membawa kematian pada akar dan batangnya. Innalillah.. 

Tentu sangat beda dengan jenis tanaman lain, misal singkong, telo, cabe, kunyit dll.  Selain tidak mudah haus air dalam kadar banyak, perawatannya tidak memakan waktu dan tenaga banyak. Rumputnya bisa didiamkan sampai kelihatan lebat dan bisa dipotong untuk makanan empuk sapi dirumah. Makanya kakek dan nenek disuruh fokus bercocok tanam itu, selain jagung dan padi. Sedang ibu tetap dalam tugas super sibuknya ngurus rumah, merawat adek yang masih duduk di bangku kelas 6 SD, jaga toko, ngasik makan sapi, nganterin makanan ke sawah dll. 

Sekilas cerita diatas. Sangat menyayat hatiku. Kendati orang tuaku telah melepaskan restunya untukku belajar ditanah rantau guna mencari ilmu. Tapi, mereka pasti membutuhkan tenagaku sebenarnya. Keberadaanku disana akan mengurangi lelah mereka. Oh tuhan, lindungilah mereka. 

Lingkungan dirumahku mengalami pergeseran. Kata itu tepat saat melihat banyak anak diusiaku bahkan lebih pasnya 3-4 tahun diatasku memulai untuk menyebarangi lautan madura guna mengeyam pelajaran kuliah pasca lulus SMA. Termasuk saya, dan sekarang mulai beramai ramai hampir menyeluruh dikampungku. Mungkin celoteh peningkatan kualitas pendidikan dari pemerintah menjadikan orang tua rela melepas anaknya untuk terbang jauh dari pelukannya dikampung. "biar tidak bernasib susah seperti saya sebagai petani" kata itu salah satu yang sering menjadi alasan kuat para orang tau dikampungku. 

Alhasil. Generasi pencangkul dan penunggu sawah sedikit berkurang setiap tahunnya dikampungku. Entah hasil akhirnya, apakah akan sesuai dengan harapan mereka atau justru menyesakkan dada mereka karena masa depan anaknya terkatung tidak jelas dan sawahnya terlanjur kering tak tersentuh karena tenanga sudah tak sampai bertani. 

Tentu generasi ini harus mulai sadar pada dua kekhawatiran orang tua kita. Artinya dua hal itu harus menjadi perhatian kita untuk bisa sama sama tercapai. Meskipun bukan hal konyol yang kita fikirkan bahwa harus memecah badan untuk melakukan dua hal dan berada ditempat berbeda itu. Selayaknya pengetahuan yang dinamis, hari ini perkembangan teknologi harus mampu menerjemahkan dua pikiran itu. Bagaimana kemudian mampu memberikan jalan baru untuk bisa membantu kita dalam memberikan solusi dan inovasi. Ya, kita akhir akhir ini mendengar kalimat, Petani digital, Petani milenial, dan bertani tanpa lahan. Kesemuanya cukup praktis untuk dikerjakan praksis semua anak muda dewasa ini. 

Petani digital. Yaitu sebuah kesadaran petani dalam hal teknologi. Bagaimana bidang pertanian bisa tersentuh perkembangan teknologi, mulai saat pembenihan, panen, dan pemasan hasil produksi pasca panen.  Pemerintah sudah menyiapkan serumpun kebutuhan petani lewat peraturan terbarunya. Maka petani tentu akan banyak terbantu dengan teknologi bertani diera modern ini dan pastinya akan mengurasi sedikit bedan dan akan menambah Produktifitas nya. 

Petani milenial. Kata milenial itu seruan aktif dan revolusiner untuk generasi muda yang lahir di pertengahan tahun 80-an sampai hari ini, yang harus sadar pada revolusi teknologi dan industri. Membantu pertanian kita dengan tangan-tangan karyanya, dengan cagar pengetahuannya, dengan jejaringnya, untuk memajukan pertanian Indonesia. Misal, menciptakan teknologi website untuk berbagai kebutuhan informasi petani dari hulu kehilir, menciptakan internet marketing untuk memperlancar pemasaran hasil pertanian dan memutus mata rantai tengkulak yang banyak merugikan. Dll. 

Bertani tanpa lahan. Iya sejak setahun lalu, televisi telah menayangkan sejumlah karya anak bangsa yang berprestasi membuat komunitas ofline dan online (web dan aplikasi), untuk membantu regulasi pertanian lebih lancar. Yaitu, mempertemukan investor dengan petani untuk membantu petani yang kekurangan modal, dan pengangguran. Ada juga membantu menyediakan lahan dan berbagai macam kebutuhan pertanian, mulai pupuk, benih, obat serangga, obat penyubur, dan networking pemasaran dilokal dan ekspor keluar negeri. Prosesnya tentu membeli atau menjarah lahan terlebih dahulu dari para pemborong tanah-investor yang berkebutuhan mendirikan pabrik berpolusi, perumahan, dll. 

Sekian tulisan terkait pertanian ini. Segala masukan sangat kami butuhkan untuk membantu pertanian Indonesia lebih baik dan mampu menakar pencapaian swasembada produk unggulan pertanian kedepan sesuai harapan pemerintah dan rakyat Indonesia. 

Surabaya, 04 juli 2018

*Mahasiswa UPN Veteran Jatim. 



CARA MUDAH UPDATE POSTINGAN:

0 Response to "Parau Generasi muda dan Paras kecantikan pertanian Indonesia "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel